Wah, ga terasa nih guys, kita sudah sampai di bab terakhir materi Sejarah Indonesia semester 1. Bagaimana? Apakah kamu bisa mengikuti pelajaran dengan baik? Terlepas dari kondisi daring atau tidak, penulis harap kamu selalu semangat mengikuti pembelajaran ini ya.
Nah, hari ini kita akan membahas materi Sejarah Indonesia kelas 11 bab 4 mengenai Sumpah Pemuda dan Jati Diri Keindonesiaan. Yuk, langsung simak ulasan di bawah ya!
Bab 4:
Sumpah Pemuda dan Jati Diri Keindonesiaan
“Hasrat untuk meraih kemajuan bangsa Indonesia muncul ketika banyak pemuda telah mengecap bangku sekolah, baik dalam maupun luar negeri. Selain itu, munculnya surat kabar telah memupuk kesadaran berbangsa dari seluruh lapisan masyarakat bumiputra. Kesadaran ini makin tampak dengan banyaknya organisasi kaum muda, yang mengarahkan tujuannya untuk membentuk suatu bangsa dan negara yang merdeka”
A. Latar Belakang Sumpah Pemuda
Adanya pendidikan/sekolahsekolah akan memunculkan kaum terpelajar. Kaum muda terpelajar inilah kemudian memelopori lahirnya kebangkitan nasional di Indonesia.
Hal ini juga dipacu oleh adanya surat kabar-surat kabar yang sudah terbit saat itu sehingga mempercepat berkembangnya semangat nasionalisme di kalangan bangsa Indonesia. Dengan demikian, berkembanglah masa pergerakan kebangsaan, suatu periode yang sangat penting dalam sejarah perjuangan bangsa.
1. Politik Etis: Pintu Pembuka Pendidikan Modern
Memasuki abad ke-20, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mendorong untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Kebijakan itu diikuti dengan penaklukkan terhadap wilayah-wilayah yang belum dikuasai, jika perlu dengan pendekatan militer.
Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah disatukan dalam penerapan adminstrasi baru yang berpusat di Batavia, yang disebut Pax Neerlandica.
Serangkaian tindakan penjajahan Belanda tersebut telah menimbulkan banyak perlawanan dari pihak bangsa Indonesia. Strategi perlawanan yang ditempuh waktu umumnya dengan perlawanan bersenjata. Sayangnya perlawanan dalam menghadapi kekuatan kolonialisme dan imperialism itu masih bersifat lingkup daerah atau wilayah tertentu.
Riau melancarkan perlawanan sendiri, Banten perang sendiri, Mataram angkat senjata sendiri, Makasar begitu, Tondano juga begitu dan begitu seterusnya perlawanan Diponegoro berdiri sendiri, Padri sendiri, Aceh sendiri. Bahkan dari masingmasing daerah atau pihak Indonesia ini bisa diadu domba.
Orang-orang Madura diadu domba dengan Mataram, Aru Palaka dari Bone diadu dengan Hasanuddin dari Makassar, pasukan Ali Basya Sentot Prawirodirjo diadu dengan pasukan Padri.
2. Pers Membawa Kemajuan
Pada awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya melalui pers (media cetak) mengenai isu-isu perubahan. Isu-isu yang dipopulerkan, yaitu terkait dengan peningkatan status sosial rakyat bumiputra dan peningkatan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kata kemajuan menjadi populer pada saat itu.
Kemajuan saat itu diartikan dengan pendidikan, pencerahan, peradaban, modernisasi, dan kesuksesan hidup. Pers merupakan sarana berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, kemajuan dan pergerakan nasional. Pada dekade itu ditandai dengan jumlah penerbitan surat kabar berbahasa Melayu yang mengalami peningkatan.
Orang-orang pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu adalah orang Indo seperti H.C.O. Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru, dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi.
Bermunculannya media cetak itu segera diikuti dengan munculnya sejumlah jurnalis bumiputra lainnya. Mereka adalah R. Tirtodanudja dan R. Mohammad Jusuf. Keduanya adalah redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij & Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di Malang oleh Kwee Khaij Khee.
Di Bandung Abdul Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co. Para jurnalis bumiputra itulah yang memberikan wawasan dan ”embrio kebangsaan” melalui artikel, komentar-komentar mereka dalam surat pembaca.
Selain itu, mereka juga mengungkapkan solidaritan dengan para pembaca yang sebagian besar adalah kaum muda terpelajar. Misalnya Pewarta Prijaji yang disunting oleh R.M.T. Kusumo Utoyo seorang Bupati Ngawi, yang menyerukan persatuan di kalangan priyayi.
Mereka juga mendapatkan dukungan dari simpatisan dan pelanggan dengan 15 cabang di Jawa, Madura, dan Sumatera (lebih lanjut baca Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926).
Sementara itu, tokoh muda dr. Abdul Rivai yang baru datang dari Belanda menganjurkan pada tokoh muda di Hindia untuk membentuk sebuah organisasi. Dalam tulisantulisannya pada surat kabar Bintang Hindia, ia selalu memuat tentang “kemajuan” dan “dunia maju”.
3. Bangkitnya Nasionalisme
Keberadaan kaum muda terpelajar sangat cocok dan responsif terhadap berkembangnya paham-paham baru, apalagi paham yang ikut menggelorakan kemerdekaan. Pada saat itu di Eropa sedang tumbuh subur paham-paham yang terkait dengan kemajuan, kebebasan, kemerdekaan sebagai dampak dari Revolusi Perancis.
Pada awal abad ke-20, paham nasionalisme memasuki wilayah Indonesia. Perlu diingat bahwa dengan pelaksanaan Politik Etis telah mendorong lahirnya kaum muda terpelajar. Pemikiran mereka semakin rasional, wawasannya semakin luas dan terbuka sehingga memperlancar berkembangnya pahampaham baru di Indonesia.
Pada periode awal pergerakan kebangsaan telah muncul organisasi Budi Utomo (BU) yang bersifat sosio-kultural. Organisasi ini didirikan antara lain oleh Sutomo, Gunawan atas rintisan Wahidin Sudirohusodo pada tanggal 20 Mei 1908.
Tujuannya untuk mengumpulkan dana guna membantu kaum bumiputera yang kekurangan dalam menempuh pendidikan. Organisasi yang berikutnya adalah Sarekat Islam (SI). Pada mulanya SI ini lahir karena adanya dorongan dari R.M. Tirtoadisuryo seorang bangsawan, wartawan, dan pedagang dari Solo.
Tahun 1909, ia mendirikan perkumpulan dagang yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Tahun 1911 K.H. Samanhudi secara resmi mendirikan SDI. Pada tahun 1912 nama SDI diganti Sarekat Islam (SI) oleh HOS Cokroaminoto. Pada tahun 1912 itu juga berdiri organisasi yang bercorak politik yakni Indische Partij (IP).
Pendiri organisasi itu dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai”, yakni: Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat atau dikenal dengan Ki Hajar Dewantoro. Setelah itu IP berkembang pesat di berbagai daerah di Indonesia
Daftar Pustaka :
Sardiman AM, dan Amurwani Dwi Lestariningsih. 2017. Sejarah Indonesia Kelas XI SMA/MA/SMK/MAK. Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud