Materi Seni Budaya Kelas 11 Bab 21 Kritik Teater

Halo teman-teman semua! Apa kabarnya nih? Masih semangat ya untuk mengikuti pembelajaran Seni Budaya? Nah, kali ini penulis akan membagikan materi seni budaya kelas 11 bab 21 mengenai Kritik Teater. Penasaran? Yuk, langsung simak ulasannya di bawah ini.

Bab 21:
Kritik Teater


materi seni budaya kelas 11 bab 21
Group of smiling people clapping hands in the theater, close up of hands. Dark tone.

Pengertian Kritik

Kata kritik berasal dari Bahasa Yunani: Krinien artinya mengamati, membandingi, dan menimbang. Bahasa Inggris: criticism, Bahasa Prancis: critique. Kritik adalah karangan yang memberi pertimbangan secara jujur/objektif terhadap hasil karya orang lain. Kritik harus mengkaji dan mengevaluasi berbagai segi dan penuh pertimbangan. 

Kritik tidak hanya mencari kesalahan, kritik yang sehat menyebutkan sifat-sifat yang baik maupun buruk, mempertimbangkan baik buruknya, kemudian memberikan penilaian yang mantap. Karenanya, kritikus teater memikul tanggung jawab besar terhadap seni teater, artinya kritikus teater turut menentukan masa depan seni teater. 

Kritikus teater yang bersungguh-sungguh dan cerdas, bisa menjadi penghubung penggiat teater masa kini dan masa depan. Peranannya tidak hanya membimbing penonton teater, tetapi memperluas pemahaman penonton tentang teater. Sedangkan bagi pemain dan sutradara, merasa diingatkan untuk memaksimalkan pendekatan mereka. 

Unsur-unsur Penting dalam Kritik Teater

Unsur penting kritik teater adalah gaya dan isi. Gaya adalah cara kritik itu ditulis, seni bahasa, kearifan, kebijakan akal, pengungkapan yang jernih, dan tajam. Isi menyangkut hal-hal yang dikatakan, bukan bagaimana cara mengatakannya.  

Menulis kritik teater tidak mudah, karena pementasan teater bergerak cepat kedepan dan kadang tidak cukup sekali menonton untuk mendapatkan apresiasi penuh. Sulit bagi bagi kritikus untuk memisahkan dan memahami ide-ide, teknik-teknik yang mendukung pementasan teater. 

Berikut contoh kritik teater yang ditulis Raphael Bonitz, kritikus teater Jerman : 

MENUJU FESTIVAL SEPANJANG MASA

Oleh: Noorca Marendra

Festival Teater Remaja (FTR) kesepuluh di TIM tanggal 15 hingga 25 Februari 1983 baru berakhir. Sejak diselenggarakannya tahun 1973 hingga sekarang, lembaga FTR menghasilkan enam grup teater senior yang berhak main di TIM dua kali setahun. Mereka adalah Lisendra, Teater Remaja Jakarta, Teater GR Jakarta Timur, Teater Kail, Road Teater, dan Art Study Club.

Namun, tahun lalu yang main dua kali adalah Art Study Club, Lisendra. Yang lain main sekali dan ada yang lenyap tanpa berita. Mutu pertunjukan hanya satu dua yang bisa dibilang baik. Selebihnya gombal semata.

* * *

Setelah absen dari kegiatan FTR cukup lama, sangat istimewa memperoleh kesempatan untuk mengamati perkembangan grup-grup teater remaja di Jakarta tahun ini. Karena harus sesuai dengan waktu, kesempatan menonton FTR tinggal separuh. Dari 22 peserta yang tercatat, hanya 11 grup yang ditonton, sebagian besar dianggap cukup mewakili seluruh kecenderungan, terutama didasarkan pada “rekomendasi” dari seorang kawan tokoh teater.

* * *

Jose Rizal Manua dari Teater Remaja Adinda dikenal sebagai penata pentas di TIM. Pemuda ini mengejutkan, suatu hari menyatakan akan menyutradarai Hamlet karya Williams Shakespeare. Kemudian ia mengatakan akan memainkan peran Hamlet sendiri. Tapi ketika ia dan grupnya benar-benar tampil 25 Februari dengan dekor, kostum, music dan gaya Bali, berhasil memukau penonton selama 280 menit, pemuda itu ternyata hebat.

Ia berhasil mengangkat lakon yang penuh tantangan pas dengan segala potensi yang dimilikinya. Semua pemain beraksi tanpa pretense, semua mengalir secara alami, tanpa kesombongan, dengan cukup pemikiran, rapih, padu dan enak ditonton. Grup ini penafsiran Hamlet yang berhasil, sesudah Rendra (yang menterjemahkan lakon itu menjadi sangat komunikatif dan pernah memainkannya beberapa tahun silam), di Taman Ismail Marzuzi. Dibanding FTR enam tahun lalu, FTR kali ini tahu kebutuhannya untuk berekspresi telah mengalami banyak perubahan. 

Kualitas para pemain babak final FTR ini tidak berbeda dengan yang dimiliki generasi senior kedua sesudah Bengkel Teater Yogya, Teater Kecil, dan Teater Populer serta Studiklub Teater Bandung. Yakni generasi Teater Mandiri, Koma, Siapa Saja. Dan bahkan rata-rata lebih baik dari generasi senior ketiga lulusan FTR.

* * *

Kebebasan memilih naskah menyebabkan festivalis tahu mengukur kemampuannya dan tahu kebutuhannya untuk berekspresi melalui teater. Dalam FTR kali ini melahirkan dua peserta yang memainkan naskah karangan sendiri. Sehingga penilaian terhadap kedua grup ini harus dibedakan. Mereka adalah Bandar Teater Jakarta dengan Mengejar Matahari, karya dan sutradara Ismail Sofian Shanie dan Reza Morta Vileni (18 tahun).Kedua pemuda ini sama-sama berbakat, mampu bermain dan menyutradarai. Mereka menjanjikan masa depan dan tahu bagaimana mengekspresikan dirinya, lingkungannya dengan jujur dan selektif. Bila Ismail Berbicara tentang lingkungan social yang bombrok karena kesulitan ekonomi, Reza lebih intim ketika berbicara tentang dirinya, keluarganya, sekolahnya dan kawan-kawan sepermainannya. Suatu tema yang jarang digarap dengan baik dan bisa mewakili generasinya.

* * *

Orang-orang sejenis itu hanya sedikit dan jarang sekali lahir. Tapi dengan kemampuan yang ditunjukkan dalam FTR tahun ini, teater kita tidak kurang walaupun belum lebih. Bakat-bakat baru banyak yang potensial, baik sebagai pemain, sutradara, penata dekor atau penulis naskah. Apalagi kita sudah punya Mandiri dan Koma.

Biarkanlah ketiga tokoh teater modern kita menikmati masa istirahatnya, menikmati kenangan zaman keemasan dan “kenabiannya” dengan tenang, sambil manggut-manggut dan senyum-senyum kepada setiap orang yang menyapanya. Mereka tak perlu lagi dibujuk, dirayu, diejek atau digugat. “Tak perlu sedu sedan itu,” kata Chairil Anwar. Yang harus dipikirkan adalah control terhadap kwalitas pertunjukan teater di TIM. 

Control terhadap kwalitas itu harus dilakukan terus menerus. Misalnya dengan Festival Teater Sepanjang Masa (FTSM). Bentuknya bisa diterapkan dalam FTR, yakni dengan sistem kredit nilai. Bila dalam FTR setiap grup yang berhasil menjadi grup terbaik selama tiga kali (tanpa berturut-turut) akan diangkat sebagai “senior,” maka dalam FTSM setiap grup yang mengantongi nilai pertunjukan buruk tiga kali (tanpa berturut-turut), harus dipecat dari kedudukannya sebagai senior dan ia harus ikut FTR kembali. Atau grup itu dilarang main minimal selama setahun. Ketentuan ini berlaku bagi kelompok senior seluruh generasi.

Tapi festival teater sepanjang masa ini hanya akan menjadi impian belaka, bila tak satu pun anggota DKJ atau Komite Teaternya mau menonton teater yang dimainkan di TIM, seperti yang selama ini terus terjadi. Entah apa saja kesibukan mereka. Padahal bila kondisi sekarang tak segera dibenahi, maka teater kita tak terkontrol, macet, menjadi gombal dan ketengan. Bila kritik di media massa  dijadikan ukuran, maka tanpa dikehendaki bisa menjadi terlalu menentukan. Padahal ktirik tidak infaillible, tidak selalu benar.

(CATATAN: Grup-grup festivalis yang menjadi dasar penilaian dalam tulisan ini antara lain adalah: Teater Remaja Adinda (dengan lakon Hamlet), Teater Sae (Umang-umang), Bersama (Sumur Tanpa Dasar), Bandar Teater Jakarta (Mengejar Matahari), Teater SS (Cermin Retak-retak), Gom Aquila (Gamang), Luka (Sandek), dan Teater Egg (Terdakwa) serta beberapa yang lain.

(KOMPAS, Jum’at, 4 Maret 1983.)

Daftar Pustaka: 
Pekerti, W. dkk. 2014. Seni Budaya SMA/MA SMK/MAK Kelas XI Semester 2. Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also

Materi Bahasa Inggris Kelas 11 Bab 6 Cause & Effect

Halo teman-teman. Yuk kita lanjutkan materi Bahasa Inggris kelas 11 bab 6. Kali ini kita a…