Rangkuman Materi Seni Budaya Kelas 9 Bab 8 Penulisan Lakon

Berikut rangkuman lengkap materi Seni Budaya kelas 9 bab 8 yang membahas tentang Penulisan Lakon. Rangkuman ini disusun dari buku paket BSE edisi K13 revisi terbaru yang diterbitkan oleh Kemendikbud RI.

Sehingga rangkuman materi di halaman ini bersumber dari buku terpercaya yang kredibel. Semoga bermanfaat sebagai bahan belajar kamu di rumah atau di sekolah.

Bab 8 Penulisan Lakon


Naskah lakon atau cerita (skenario) merupakan penuangan ide cerita ke dalam alur cerita dan susunan lakon. Penulis lakon dalam proses berkarya, bertolak dari tema cerita. Tema disusun menjadi cerita yang terdiri dari peristiwa-peristiwa yang memiliki alur jelas, dengan ukuran dan panjang yang diperhitungkan menurut kebutuhan sebuah pertunjukan. 

Naskah lakon bisa ditulis sesuai penulis lakon atau cerita, tetapi harus berpegang pada asas kesatuan (unity). Naskah lakon mempunyai struktur yaitu tema (dasar pemikiran atau gagasan untuk disampaikan kepada penonton), plot (kejadian atau peristiwa yang berkaitan), setting (latar tempat, waktu, dan suasana cerita), tokoh (peran yang terlibat dalam cerita). 

Naskah lakon yang khusus disiapkan untuk dipentaskan mempunyai struktur lain yang spesifik. Struktur ini dirumuskan oleh Aristoteles yang membagi menjadi 5 bagian besar, yaitu eksposisi (pemaparan), komplikasi, klimaks, anti klimaks (resolusi), dan konklusi (catastrope). 5 struktur tersebut, pada perkembangan kemudian tidak diterapkan secara kaku, tetapi bersifat fungsionalistik. 

Tema adalah gagasan atau ide cerita yang menjadi dasar/inti cerita yang hendak ditulis oleh penulis. Metode atau cara yang dilakukan untuk mendapat ide atau gagasan cerita adalah mengamati semua hal yang ada di sekitar. Pengamatan ini memunculkan kesadaran dalam diri dan pikiran.

Alur (plot) adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan saksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui perumitan (penggawatan atau komplikasi) ke arah klimaks dan selesaian. 

Latar  (setting) cerita terdiri atas latar tempat (menunjukkan tempat terjadinya peristiwa), latar waktu (menunjukkan kapan terjadinya peristiwa), dan latar suasana (menunjukkan suasana cerita tersebut). Menuliskan latar cerita adalah menuliskan gambaran situasi tempat kejadian dan waktu terjadinya peristiwa yang hendak ditulis menjadi latar cerita.  

Latar (setting) bisa dari imajinasi, bisa juga hasil observasi dan eksplorasi dalam kehidupan sehari-hari. Observasi bisa dilakukan dengan mengamati sebuah lingkungan yang bisa mendukung hasil rancangan. Kemudian ditulis secara detail sesuai dengan yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dibaui. Proses observasi sekaligus mengeksplorasi tempatnya. 

Untuk mempersiapkan latar cerita, tuliskan dan deskripsikan sebanyak mungkin hasil pengamatan dan eksplorasi dari beberapa tempat. Jangan hanya menuliskan suasana dan tempat itu dalam satu kata, karena akan memunculkan tafsir yang berbeda.

Peran adalah makhluk hidup yang memiliki hidup dan kehidupan dalam dunia lakon hasil imajinasi seorang penulis. Peran itu harus hidup, artinya memiliki dimensi kehidupan atau memiliki karakter. Karakter itu bisa jahat, baik, bodoh, jenius, kaya, miskin, dan sebagainya. Tugas seorang penulis lakon adalah mendeskripsikan secara ringkas peran tersebut. 

Karena peran itu hidup, maka harus dijelaskan identitas dari peran tersebut, misalnya nama, umur, jenis kelamin, bentuk fisiknya, jabatannya, dan sisi kejiwaanya. Hal ini penting sebagai gambaran awal bagi seorang calon pemeran ketika hendak memainkan peran tersebut. 

Untuk mencari gambaran peran yang hendak ditulis, penulis lakon bisa melakukan observasi, bisa dari kehidupan keseharian atau yang ada di lingkungan sekitarnya, maupun dari kenangan yang pernah dialaminya. Lakukan observasi dan tulis secara detail peran tersebut. Susun semua peran tersebut dalam satu susunan peran yang akan mengisi kehidupan dunia lakon. 

Detail yang harus dideskripsikan ialah ada dan bagaimana tokoh mengenakan pakaian, bersamaan dengan itu juga bagaimana profil kepribadian tokoh dengan mengacu kepada sejarah singkat kehidupannya.

Struktur lakon yang lebih sederhana terdiri dari pemaparan, konflik, dan penyelesaian. Pemaparan berisi tentang keterangan tokoh, masalah, tempat, waktu, atau pengantar situasi awal lakon, ditampilkan juga bagian yang mengarah pada terwujudnya tema. 

Bagian tersebut diringkas sehingga tidak nampak dengan jelas, tetapi penonton atau pembaca sudah bisa memperkirakan arah dan keseluruhan kejadian dalam lakon. Dalam penyusunan pemaparan, usahakan sudah mengandung konflik atau yang mengarah pada konflik yang terjadi, masih dalam keseimbangan lakon. 

Penggawatan dituliskan masalah dalam pemaparan sudah terganggu oleh adanya bibit masalah dan kepentingan. Bibit masalah ini akibat dari pemikiran peran atau aksi peran terhadap keinginannya. Untuk pertama kali, peran antagonis bertemu dengan peran protagonis membangun konflik, akibat dari pertentangan antarperan tersebut. 

Konflik dibangun dan dijalin dalam peristiwa yang semakin gawat sampai mencapai klimaks. Jadi, bagian penggawatan ini sebenarnya tubuh atau bagian yang paling penting dari lakon, karena kalau bagian penggawatan ini lemah, maka lakon secara keseluruhan akan terasa lemah. 

Klimaks adalah titik paling ujung dari perselisihan atau konflik antara peran protagonis dan peran antagonis. Ketika pada titik klimaks, konflik tidak bisa lagi dibuat rumit dan konflik itu harus diakhiri. Dengan berakhirnya konflik, akan ada pihak yang dikalahkan atau dihancurkan dan pihak mana yang harus dikalahkan, tergantung dari konsep dan visi seorang penulis lakon. 

Peleraian berisi tentang alternatif jawaban dari permasalahan sampai terjadinya konflik antara peran antagonis dan peran protagonis. Bentuk alternatif jawaban tidak boleh diwujudkan secara nyata atau terbaca dengan mudah. Kalau alternatif jawaban ini dibuat secara nyata dan tiba-tiba, maka akan melemahkan klimaks yang telah dibuat. 

Peleraian tidak boleh bertele-tele atau kesannya dipanjang-panjangkan, karena akan membuat penonton menjadi jemu. Peleraian tidak boleh dibuat tergesa-gesa, karena akan membuat klimaks yang telah dibuat tidak berarti. Peleraian seharusnya disusun dengan cermat dan tidak mengurangi ketercekaman yang terjadi pada klimaks, tetapi lama-kelamaan menurun. 

Penyelesaian berisi jawaban yang menjadi permasalahan antara peran protagonis dan antagonis. Fungsi peleraian adalah mengembalikan keadaan seperti awal cerita lakon, karena segala persoalan sudah terjawab. Penyelesaian juga merupakan bagian akhir dari cerita lakon. 

Daftar Pustaka : 

Milasari, Heru S., Siti M., dan Jelmanto. 2018. Seni Budaya SMP/MTs IX. Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also

Materi Seni Budaya Kelas 10 Semester 1 dan 2

Materi Seni Budaya Kelas 10 | Seni Budaya merujuk pada kesenian dan kebudayaan yang diprak…